Mengenang Buya Datuak Palimo Kayo, Sosok Ulama Tersohor dan Ketua MUI Sumbar Pertama
Selasa, 09 April 2019
MUI.OR.ID -- Kesejukan masih meliputi Gunung Singgalang hingga ke kakinya di Nagari Balingka, Agam, Sumatra Barat pagi itu. Syekh Daoed Rasjidi dan isteri yang tinggal di nagari itu, sedang berbahagia. Hari tersebut, 17 Shafar 1321 Hijriyah atau bertepatan dengan 10 Maret 1905, putra dari pasangan itu lahir. Diberi nama Mansoer, kelak beliau bernama lengkap Mansoer Daoed (Mansur Daud) Datuak Palimo Kayo Terlahir sebagai putra salah satu ulama besar Minangkabau, kelak Mansur meneruskan jejak ayahnya. Lebih dari itu, selain ulama, Buya Datuak juga kemudian berkiprah jadi politisi dan sempat menjadi diplomat ketika diangkat jadi duta besar. Hari kelahiran Buya Haji MD Datuak Palimo Kayo tersebut, tepat 114 tahun yang lalu, Ahad (10/3/2019) Buya datuk panggilan akrabnya menjalani pengalaman keulamaannya dalam berbagai belahan dunia dan medan perjuangan dakwah. Diawali dengan belajar dunia pesantren di ranah minang, ia kemudian menambah ilmu dengan melanglang buana ke banyak negeri hingga ke negeri Irak. Di usia yang masih muda beliau juga aktif dalam kegiatan organisasi keislaman dan organisasi politik. Selama masa revolusi kemerdekaan beliau tidak ragu terlibat dalam bentrok fisik melawan kaum penjajah dan bahkan sempat dipenjara. Di era kemerdekaan beliau dipercaya pemerintah orde lama menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh Republik Indonesia untuk Negara Irak. Namun kemasyhuran karir diplomatnya hanya sekejap saja, karena semuanya seakan menjadi anti klimaks ketika krisis PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang menjadi awal peran politik semua tokoh Masyumi seperti dirinya memudar. Peristiwa PRRI menjadi ending karir diplomatnya tetapi tidak bagi Buya dengan sosok keulamaannya. Ummat justru membutuhkan dan merindukan beliau di usianya yang mulai beranjak senja sebagai pemimpin umat. Hal ini tercermin dari sejarah penunjukan beliau sebagai Ketua Majelis Ulama Sumatera Barat pada tahun 1968 oleh para ulama lainnya yang akan dibahas pada edisi selanjutnya. Riwayat Hidup Pendidikan dan Karir Sebagai anak seorang ulama, sejak kecil Buya Haji Mansoer Daoed sudah belajar mengaji. Tapi, ketika berumur tujuh tahun, tatkala fisiknya telah mulai berkembang dan telah duduk di kelas 1 “Vervolg School” (Sekolah Desa), ia terlihat begitu nakal, sehingga hampir setiap hari kena “lacuik” (pukul) dengan rotan oleh orang tuanya. Meskipun demikian, kelakuannya juga tak banyak berubah. Akhirnya Inyiak Daud merasa tak sampai hati mempergunakan rotan berkepanjangan. Sebab beliau menyadari, kalau sering betul anak kena lacuik dengan rotan tentulah ia akan rusak ketika dewasanya. Lalu berundinglah Inyiak Daud dengan iparnya yang bernama Haji Hasan. Dari perundingan tersebut diambil keputusan bahwa Mansoer, harus ikut mamaknya ke Lubuk Sikaping, Pasaman, untuk berjualan di sana. Di Lubuk Sikaping, ia dimasukkan ke Government School, merupakan sekolah yang cukup tinggi bagi bumi putera waktu itu. Sebab sekolah desa (Vervolg School) hanya sampai kelas III. Sedangkan Government School sampai kelas V. Selama dua tahun di kota ini, yakni kelas II dan kelas III, kelakuannya tampak sudah semakin membaik. Sudah jauh berubah dibanding ketika di kampung dulu. Karena itu tahun 1916, yakni ketika berumur 11 tahun, ia pun dipindahkan oleh Inyiak Daud ke Padang Panjang. Paginya meneruskan pelajaran di kelas IV Government dan sorenya dimasukkan ke pesantren Sumatera Thawalib yang dipimpin sahabat sang ayah Syekh Abdul Karim Amrullah yang lebih populer dengan panggilan Inyiak Rasul (Ayah Buya Hamka). Ketika itu Pesantren Thawalib sudah mulai agak teratur, sudah dibagi perkelas, tapi masih duduk bersila, yang menjadi ukuran kelasnya adalah kitab yang dipelajari. Bagi yang belajar kitab Mukhtasar disebut kelas Mukhtasar, bagi yang belajar kitab Kawakib disebut kelas Kawakib. Di sinilah buya Mansoer Daoed mengikuti pelajaran lebih sungguh-sungguh. Otaknya sangat cerdas. Meskipun di antara teman sekelasnya cukup banyak yang telah dewasa, malah ada yang sudah menikah, sudah punya anak dan punya cucu, sudah naik haji dengan surbannya yang besar, namun ia tak kalah cerdas dibandingkan teman-temannya. Seringkali ia dipakai sebagai perbandingan oleh Inyiak Rasul. Beliau menyebutkan sebuah kalimat bahasa Arab, lalu ia berkata “coba I’rab-kan (coba kedudukan katanya) Mansur,” perintah gurunya. Mansoer Daoed menjawabnya dengan jitu. Kemudian guru menyebut kalimat lain dan memberi tugas kepada yang sudah pakai sorban atau yang sudah berumur. Sang haji yang pakai sorban itu tak dapat menjawabnya dengan betul. Maka tak ayal lagi gurunya akan berkata: “Ah, saroban se mah nan gadang. Malu lah saketek ka anak ketek”, (Ah, sorban saja yang besar. Malunya sedikit kayak anak kecil) Demikian kecerdasan beliau ketika belajar, ia pun menjadi kesayangan guru. Bukan saja karena cerdas otaknya, tapi karena pekertinya jauh semakin baik dibandingkan pada usia tujuh tahun yang sering kena rotan itu. Selain waktu belajarnya yang berbeda, terlihat perbedaan arah pendidikan yang nyata antara Diniyah dengan Sumatera Thawalib. Thawalib cenderung kepada pembinaan kader ulama, sedangkan Diniyah cenderung kepada pembinaan Muslim intelek. Sebab di Diniyah diajarkan pelajaran-pelajaran yang kini disebut dengan pelajaran umum. Tetapi pada waktu itu tidak dinamakan pelajaran umum, semuanya dinamakan ilmu agama juga, karena seluruh mata pelajaran diberikan dengan memasuki buku dari Arab seperti Geografi (Ilmu Bumi), ilmu berhitung, ilmu hisab, tumbuh-tumbuhan, ilmu menulis, ilmu bahasa, dan ilmu-ilmu lainnya. Karena itu banyak anak-anak Thawalib belajar pagi di Diniyah, sedang sorenya tetap di Sumatera Thawalib yang punya masa belajar sampai kelas tujuh. Dari sumber yang terpercaya, sebenarnya Sumatera Thawalib dan Diniyah inilah yang menempa pribadi beliau sebagai pemimpin dan ulama, demikian juga Thawalib yang menempa pribadi-pribadi pemimpin dan ulama besar seperti Buya Prof. Dr. Hamka, Prof. Muchtar Yahya, Prof. Mahmud Yunus, Zainal Abidin Ahmad, Buya Ar St. Mansur, dan tokoh ulama lainnya. Semula Thawalib hanya di Surau Jembatan Besi Padang Panjang, tetapi kemudian organisasi Thawalib menjalar ke seluruh surau murid-murid Syekh Ahmad Khatib Alminangkabauwy yang ada di Minangkabau. Sehingga surau-surau itupun menjelma menjadi Madrasah Thawalib, seperti Surau Syekh Muhammad Thaib Umar di Sungayang Batusangkar, Surau Syekh Abbas Padang-Japang (yang kemudian berubah lagi jadi Darul Funun), Syekh Muhammad Rasyid di panyinggahan Maninjau, Syekh Muhammad Rasyid adalah alim besar yang lebih tinggi ilmunya dari Syekh Abdul Karim Amrulah. Selain alim beliau juga bagak (jago) berkelahi. Sayang beliau tak lama usianya. Sesudah itu Thawalib terus menjalar ke Balingka ke Surau Inyiak Daud sendiri dan ketika surau Inyiak Daoed dihantam galodo, barulah kemudian ke Thawalib Parabek Bukittinggi. Ke Penang, India, Timur Tengah, Eropah Dan Tiongkok Selama hampir belajar tiga tahun di Perguruan Tinggi Lucknow India, beliau juga banyak mengikuti pergerakan perjuangan India yang waktu itu terbagi kedalam dua kelompok pergerakan. Setelah tiga tahun di India, Buya Datuk kemudian pergi dan menetap selama beberapa waktu di Mekkah. Di kota suci ini beliau langsung belajar agama Islam dengan Syekh Abdul Kadir Al Mandily. Salah seorang Imam Masjidil Haram itulah yang mendidik Mansur Daud selama lebih kurang satu tahun. Tetapi, lantaran adanya perang saudara di Mekah kala itu, Mansur Daud terpaksa harus meniggalkan Mekkah sebelum waktunya. Sebagaimana diketahui dalam sejarah bahwa Hijaz pada tahun-tahun menjelang 1925 tengah dilanda konflik perebutan kekuasan antar kelompok-kelompok yang bersaing di sana pasca runtuhnya kekuasaan Usmaniyah di tahun 1924. Dalam pergolakan tersebut kelopmpok yang dipimpin oleh Abdul Aziz bin Saud akhirnya berhasil mengalahkan pihak Syarif Husain yang berujung kepada lahirnya kerajaan Arab Saudi yang berhaluan Wahhabi pada tahun 1926. Pada tahun 1929 atas saran Syekh Taher Jalaluddin, Buya Datuk pergi ke Yogyakarta untuk mempelajari dan sekaligus bergabung dalam gerakan Islam yang tengah berkembang di sana saat itu yakni Muhammadiyah. Dari Kongres Sumatera Thawalib tersebut berhasil melahirkan sebuah organisasi bernama Persatuan Muslim Indonesia (PMI). Pada awal terbentuknya, tidaklah ditegaskan sama sekali karakter atau corak pergerakan PMI ini. Namun dalam perjalanannya, organisasi ini cenderung ke arah politik. Ternyata, meskipun masih berusia muda Buya Datuk langsung dipercaya sebagai salah satu Pengurus Besar organisasi baru tersebut. Pada Kongres pertama PMI di Payakumbuh pada Tanggal 5-9 Agustus 1930, beliau resmi ditunjuk sebagai Sekretaris Jendral (sekjen) PB PMI. Belakangan dalam kongres keduanya di Padang pada tahun 1931, PMI berubah menjadi partai politik dengan singkatan resmi Permi. Buya Datuk masih dipercaya sebagai sekjen partai tersebut. Maka mulailah aktivitas perpolitikan beliau dari organisasi yang dilahirkan perguruan Islam ini. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebelum kemnbali ke Minangkabau, Buya Datuk, sempat belajar dan bergabung dalam organisasi Muhammadiyyah di Yogyakarta pada 1929-1930. Lalu tetkala pulang ke Bukittinggi pada 1930, Buya Datuk disambut oleh kalangan Muhammadiyah di Bukittinggi yang saat itu dipimpin oleh Muhammad Zain Jambek. Maka saat itu pula Buya Datuk pun ditetapkan pula sebagai anggota Muhammadiyah cabang Bukittinggi. Memangku Gelar Adat Kedudukan ninik mamak waktu dulu cukup berpengaruh. Peran dan fungsi mereka sangat signifikan dalam mengarahkan sebuah komunitas sosial. Itulah sebabnya, banyak ulama yang bersedia jadi Datuk, untuk menginfiltrasi kaum adat. Seorang diantaranya Haji Mansur Daud, diangkat jadi ninik mamak dengan gelar Datuk Palimo Kayo-Buya Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo, demikian panggilan lengkapnya setelah beliau pulang dari Haji dan memangku gelar adat. Mansoer Daoed diangkat jadi penghulu oleh kaum keluarganya suku Koto Lumbung Banyak, Pahambatan Balingka Kelarasan IV Koto Agam dengan gelar pusaka Datuk Palimo Kayo. Upacara batagak penghulu ”Datuk Palimo Kayo” Mansoer Daoed ini dilaksanakan pada tanggal 23 Februari 1952. Dengan diangkatnya Mansoer Daoed sebagai penghulu dalam kaumnya, maka terbukalah kesempatan baginya untuk menghimbau penghulu yang lain di Minangkabau untuk berpartisipasi terhadap pergerakan rakyat. Begitu juga dengan dinobatkannya Mansoer Daoed sebagai penghulu kaum Koto Lumbung Banyak dengan gelar Datuk Palimo Kayo, maka semakin kokohlah pegangannya dalam mengembangkan ajaran Islam yang ditopang kuat oleh pengaruh penghulu yang dipegangnya tersebut. Otomatis nilai-nilai Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah menyatu secara integral pada dirinya. Sekaligus dengan menyatunya prinsip adat dengan agama ini pada figur Mansur Daud, maka semakin terbentang lebarlah jalan dalam meningkatkan cara berfikir warga Sumatera Barat untuk berpartisipasi dalam menggelorakan semangat jihad menentang penjajahan Belanda. Aktivitas Berorganisasi Sumber: Rahmat Ilahi (Rijoe)
|
Lainnya :