MUI Sumatera Barat
Berita

Pengabdian Buya Haji Djalaludin pada Ummat Setelah Pensiun Tidak Berkurang

Selasa, 09 April 2019
Buya Haji DjalaludinBuya Haji Djalaludin

MUI.OR.ID -- Buya Haji Djalaludin sosok yang sederhana dan kharismatik pada zamannya. Buya pernah belajar dengan ulama populer ranah minang seperti Inyiak Doktor, Inyiak Daud Rasyid dan Inyiak Djamil Djambek. Tidak hanya itu Buya juga belajar ke Mekkah dan India.

Di India Buya menyempatkan menuntut ilmu selama tujuh bulan yang memang di sana terdapat sejumlah perguruan Islam yang terkenal dan disegani seperti Lucknow dan Aligarh. Sementara di Mekkah, beliau menuntut ilmu kepada Syekh Abdul Thahir yang juga Imam Masjidil Haram saat itu.

Masa Kecil dan Memulai Pendidikan
Buya Haji Djalaluddin lahir pada tanggal 10 Maret 1917 di Malalak, sebuah negeri di lereng Gunung Singgalang, tak berapa jauh dari kampung HMD. Dt. Palimo Kayo, yaitu. Di daerah inilah Buya Djalaluddin memulai jenjang pendidikan dasar yang waktu itu Indonesia masih di bawah penjajahan Hindia Belanda, disebut dengan Vervolog School (Sekolah level SD sekarang). Beliau berhasil menamatkannya pada tahun 1927. Bisa dikatakan di sekolah ini Buya Djalaluddin menerima pendidikan “umum”. Maka pada saat yang bersamaan beliau juga mengikuti pendidikan agama yang di sana disebut “Madrasah Islam”.

Namun di madrasah ini beliau belajar selama setahun, lalu pada tahun berikutnya Buya Djalaluddin melanjutkan pendidikan ke Thawalib School di Lembah Sianok Bukittinggi di mana di sini beliau belajar kepada Syekh Abdul Muin.
Tidak begitu diketahui berapa tahun beliau belajar di Thawalib School, Karena belakangan Buya Djalaluddin melanjutkan pendidikan di Sumatera Thawalib Parabek Bukittinggi dan berguru dengan Syekh Ibrahim Musa sampai pada tahun 1934. Di sela-sela aktivitas belajarnya di Sumatera Thawalib Parabek, Buya Djalaluddin ternyata masih menyempatkan diri belajar secara tidak langsung dengan Syekh Djamil Djambek, Inyiak Daud Rasyidi (ayah dari HMD. Dt. Palimo Kayo) hingga Syekh Haji Karim Amrullah atau yang dikenal dengan julukan Inyiak Doctor yang juga ayah dari Buya Hamka. Caranya, pada hari-hari tertentu Buya Djalaluddin dan teman-teman datang ke surau Inyiak Doktor.

Sesampainya di sana, Inyiak Doktor lantas bertanya; ”Kalian berguru sama siapa? Kami menjawab, “Dengan Syekh Ibrahim Musa Parabek”. Siapa lagi? Tanya Inyiak Doktor. Kami menjawab, ”Syekh Abdul Muin”. Nah kalau begitu masuklah ke kamar itu! Seraya menyuruh masuk kamar perpustakaannya. “Bacalah apa saja buku yang kalian kehendaki, kemudian tanyakanlah apa saja yang belum kami pahami. Lalu kamipun asyik membaca. Setelah itu beliaupun menjelaskan apa yang belum kami pahami, demikian Buya Djalaluddin mengenang masa-masa belajarnya di waktu muda. Pola belajar seperti itulah yang dilakukan beliau tatkala belajar bersama Inyiak Doktor, Inyiak Daud Rasyid dan Inyiak Djamil Djambek.

Merantau ke Mekkah Mencari Ilmu
Awal tahun 1935, yaitu ketika berumur 18 tahun, Djalaluddin muda yang begitu semangat menggali ilmu-ilmu agama memutuskan tinggalkan ranah Minang. Negeri tujuannya tidak tanggung-tanggung, yaitu Kota Mekkah yang saat itu tengah populer di mata pelajar Muslim nusantara. Sama seperti yang dialami oleh HMD. Dt. Palimo Kayo pada masa mudanya, untuk menuju Mekkah, Buya Djalaluddin kala itu harus menempuh Negeri Malaysia dan melewati India.

Di India, Buya Djalaluddin menyempatkan menuntut ilmu selama tujuh bulan yang memang di sana terdapat sejumlah perguruan Islam yang terkenal dan disegani seperti Lucknow dan Aligarh. Pada masa-masa itu pula Buya Djalaluddin berjumpa dengan Haji Darwas yang juga kebetulan hendak bepergian ke Mekkah.

Sekitar Bulan September di tahun yang sama, Buya Djalaluddin akhirnya tiba di Mekkah dan mulai menjalani aktivitas menuntut ilmu kepada Syekh Abdul Thahir yang juga Imam Masjidil Haram saat itu. Ada sekitar empat tahun beliau menutut ilmu di Kota suci ini hingga tahun 1939. Adapun bidang studi yang paling Buya minati saat di Mekkah adalah studi Tafsir dan Hadist. Ada banyak orang Indonesia yang seperguruan dengan beliau selama belajar di Mekkah. Di antaranya dalah Haji Darwas Idris, (yang kelak akan menjadi tokoh Muhammadiyah Sumbar dan pernah menjadi dosen Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol). Selain itu ada nama Zaidan Abdus Shamar yang kelak menjadi sekretaris Kedutaan Indonesia di Arab Saudi.

Ternyata, di sampan (perahu kecil), ia sibuk dalam mendalami ilmu-ilmu keislaman, Buya Djalaluddin juga aktif kegiatan keilmuan lainnya, yaitu mengajar di Madarasah Indonesia di Arab Saudi yang saat itu dipimpin oleh Syekh Djanan Thaib yang dikenal sebagai alumnus Indonesia pertama dari Universitas Al-Azhar. Belakangan Buya akhirnya dipercaya menjadi salah seorang pengurus di madrasah tersebut selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian, ada lagi aktivitas Buya Djalaluddin yang kali ini bersifat sosial, yaitu keterlibatan beliau dalam perkumpulan para perantau asal Indonesia yang bermukim di Mekkah atau diistilahkan dengan Komite Mukimin Indonesia di Mekkah. Bahkan Buya juga tergabung pula ke dalam organisasi yang lebih spesifik lagi yaitu Parpindo yaitu Persatuan orang-orang Indonesia dan Malaysia yang ada di Mekkah.

Kembali ke Tanah Air di Masa Krisis Global
Setelah belajar selama empat tahun lebih, maka pada tahun 1939 Buya Djalaluddin mengakhiri pendidikannya di Mekkah dan kembali pulang ke kampung halaman. Tidak ada penjelasan langsung kenapa kegiatan pendidikan Buya Djalaluddin di Mekkah terhenti hingga tahun 1939. Meskipun durasi masa tersebut tidak bisa dikatakan sebentar.
Namun bila dikaitkan dengan periode tahun tersebut yang merupakan bermulanya Perang Dunia II (1939-1945) dan segera setelah itu menjadi sebuah tragedi global terdahsyat dalam sejarah mungkin dapat menjelaskan faktor logis yang menyebabkan beliau harus mengakhiri keberadaannya di tanah Hijaz. Perlu diketahui bahwa semenjak pecahnya Perang Dunia II yang dikobarkan NAZI Jerman tersebut rupanya serta merta berimbas hebat kepada jalur perdagangan dan komunikasi. Kapal-kapal transportasi yang melintasi rute-rute tertentu, termasuk laut merah terpaksa mengurangi atau malah menghentikan pelayaran untuk menghindari ekses-ekes perang seperti pemeriksaan, blokade atau bahkan ditembak dan tenggelam.

Ketika akhirnya Buya Djalaluddin sampai ke kampung halaman di Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Jiwa aktivis dan tidak mau diam beliau masih terus berlangsung. Aktivitas utama yang Buya tekuni sesampai di kampung tentu saja sebagai pendidik dengan mengajar di Madrasah Islamiyah Malalak. Hingga invasi Jepang ke nusantara pada tahun 1942 yang menumbangkan kekuasaan Belanda dan membentuk pemerintahan militer. Sebagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia, masa pemerintahan militer Jepang yang merupakan salah satu pelaku utama Perang Dunia II, yang ditandai dengan situasi krisis dan aneka pembatasan termasuk pembatasan kegiatan pendidikan. Maka kegiatan pengajaran Buya pun ikut macet, hal demikian bisa dimaklumi saat itu di mana masyarakat dalam posisi berjuang bertahan hidup.

Kemudian situsi berbeda terjadi pada saat Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan terjadinya usaha pendudukan kembali Belanda ke Indonesia antara tahun 1945 hingga tahun 1950. Era ini dikenal sebagai periode perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan. Ternyata pada periode penuh gejolak ini, Buya Djalaluddin yang memang masih muda itu ikut terlibat dalam berbagai perjuangan perlawanan menghadapi Belanda.
Pada waktu itu Buya sempat ditunjuk menjadi Wali Perang Kenagarian Malalak dan kemudian menjadi ketua Markas Pertahanan Nagari sampai tahun 1950. Pada tahun ini ditandai dengan peristiwa penyerahan kekuasaan oleh Belanda kepada Republik sehingga menjadi awal mula kestabilan dan akhir perjuangan fisik. Dengan demikian menjadi permulaan pula bagi Buya Djalaluddin kembali ke dunianya yaitu keilmuan serta memulai karir dan prestasi yang bagus di era kemerdekaan.

Meniti Karir Formal di Lingkungan Pemerintahan
Masa-masa lumanyan stabil pada tahun 1950 dijalani oleh Buya Djalaluddin dengan merantau lagi yang kali ini ke Jakarta dan di sana berhasil di angkat sebagai pegawai dari Departemen Agama. Tenyata tugas pertama beliau bertempat lebih jauh lagi yakni Banjarmasin Kalimantan bagian Selatan di mana beliau ditunjuk sebagai Kepala Bagian Ibadah Sosial di Kantor Agama setempat. Rupanya, pengabdian beliau di Banjarmasin berlangsung cukup lama yaitu 14 tahun artinya beliau bertugas hingga pada tahun 1964.

Selama itu Buya memang menjalani kegiatan yang sangat padat dan berarti. Di samping bertugas sebagai Kepala Bagian Ibadah Sosial Depag, beliau juga merangkap sebagai guru pada sekolah Pendidkan Guru Agama Negeri (PGAN) Banjarmasin. Selain itu Buya ikut bertugas sebagai guru persiapan IAIN dan juga menjadi dosen pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Banjarmasin sampai berakhirnya penugasan beliau di kota ini pada tahun 1964.

Sekembalinya Buya Djalaluddin ke Sumatera Barat pada 1964, beliau kemudian ditunjuk sebagai Kepala Bagian Kepenghuluan hingga tahun 1970. Setelah itu Buya diangkat sebagai Sekretaris Perwakilan Departemen Agama Provinsi Sumatera Barat merangkap Kepala Bagian Kepenghuluan hingga pensiun pada tahun 1973. Dari uraian barusan dapatlah dilihat betapa aktifnya Buya Djalaluddin di dunia kepegawaian di lembaga resmi pemerintah.
Hal demikian tentu ikut memperkaya pengalaman dan wawasan beliau perihal keadaan umat yang dilayaninya, di samping kekayaan beliau pada aspek pengetahuan ajaran agama Islam. Kombinasi wawasan ini kelak akan memberi manfaat besar bagi aktivitas beliau berikutnya setelah pensiun dari Aparat Sipil Negara pada tahun 1973, yaitu di Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat.

Bergabung dengan MUI Sumbar
Setelah pensiun dari tugas pemerintahan, semangat mengabdi kepada umat yang dimiliki Buya Djalaluddin tidak pernah berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan keterlibatan beliau pada lembaga keagamaan dan keumatan yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat. Buya Djalaluddin aktif dalam lembaga MUI Sumbar dimulai semenjak terbentuknya MUI resmi pada ahun 1975 yang mengikuti pembentukan MUI nasional di Jakarta pada tahun itu.

Sebagaimana diketahui keberadaan MUI Sumatera Barat sudah terlebih dahulu lahir tepatnya pada tahun 1968 di Birugo Bukittinggi. Pada tahun ini Buya Djalaluddin masih aktif dalam lembaga pemerintahan walau tidak lepas dari urusan keagamaan-keummatan. Maka bergabungnya beliau pada tahun 1975 berlangsung di masa pensiun dari kepegawaian sehingga hal ini, membuat Buya bisa lebih fokus mencurahkan segenap tenaga dan keahlian untuk melayani umat dalam wadah MUI.

Selama menjadi pengurus MUI Sumbar, Buya Djalaluddin diamanahkan sejumlah posisi, di antaranya Ketua Komisi Fatwa. Posisi ini beliau emban selama kepemimpinan HMD. Dt. Palimo Kayo yang merupakan Ketua Umum pertama sejak periode tahun 1975-1980 dan berlanjut pada masa periode berikutnya pada tahun 1980-1985.
Pada tahun-tahun terakhir menjelang wafatnya Buya HMD. Dt. Palimo Kayo, sempat dibentuk sebuah posisi baru yaitu wakil ketua umum, di mana ditunjuklah Buya Djalaluddin menempati posisi tersebut hingga wafatnya Buya Datuk pada 17 November 1985. Dengan wafatnya ketua umum HMD. Dt. Palimo Kayo, maka beliaupun ditunjuk sebagai Ketua umum pelaksana tugas selama atau menjelang terpilihnya ketua umum MUI Sumbar defenitif. (Buku Profil MUI: Dari Palimo Kapalimo)

Sumber: Rahmat Ilahi (Rijoe)




Lainnya :

 
KETUM MUI SUMBAR
BERITA
MUI SUMATERA BARAT KONTAK KAMI ALAMAT
Situs Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatera Barat.

facebook twitter
 
Komplek Masjid Agung Nurul Iman, Jalan Imam Bonjol, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar)
 
telp
(0751) 811599
(0751) 8956213
email
muisumbar95@gmail.com
lppom.muisumbar@gmail.com