Pengabdian Buya Haji Djalaludin pada Ummat Setelah Pensiun Tidak Berkurang
Selasa, 09 April 2019
MUI.OR.ID -- Buya Haji Djalaludin sosok yang sederhana dan kharismatik pada zamannya. Buya pernah belajar dengan ulama populer ranah minang seperti Inyiak Doktor, Inyiak Daud Rasyid dan Inyiak Djamil Djambek. Tidak hanya itu Buya juga belajar ke Mekkah dan India. Di India Buya menyempatkan menuntut ilmu selama tujuh bulan yang memang di sana terdapat sejumlah perguruan Islam yang terkenal dan disegani seperti Lucknow dan Aligarh. Sementara di Mekkah, beliau menuntut ilmu kepada Syekh Abdul Thahir yang juga Imam Masjidil Haram saat itu. Masa Kecil dan Memulai Pendidikan Namun di madrasah ini beliau belajar selama setahun, lalu pada tahun berikutnya Buya Djalaluddin melanjutkan pendidikan ke Thawalib School di Lembah Sianok Bukittinggi di mana di sini beliau belajar kepada Syekh Abdul Muin. Sesampainya di sana, Inyiak Doktor lantas bertanya; ”Kalian berguru sama siapa? Kami menjawab, “Dengan Syekh Ibrahim Musa Parabek”. Siapa lagi? Tanya Inyiak Doktor. Kami menjawab, ”Syekh Abdul Muin”. Nah kalau begitu masuklah ke kamar itu! Seraya menyuruh masuk kamar perpustakaannya. “Bacalah apa saja buku yang kalian kehendaki, kemudian tanyakanlah apa saja yang belum kami pahami. Lalu kamipun asyik membaca. Setelah itu beliaupun menjelaskan apa yang belum kami pahami, demikian Buya Djalaluddin mengenang masa-masa belajarnya di waktu muda. Pola belajar seperti itulah yang dilakukan beliau tatkala belajar bersama Inyiak Doktor, Inyiak Daud Rasyid dan Inyiak Djamil Djambek. Merantau ke Mekkah Mencari Ilmu Di India, Buya Djalaluddin menyempatkan menuntut ilmu selama tujuh bulan yang memang di sana terdapat sejumlah perguruan Islam yang terkenal dan disegani seperti Lucknow dan Aligarh. Pada masa-masa itu pula Buya Djalaluddin berjumpa dengan Haji Darwas yang juga kebetulan hendak bepergian ke Mekkah. Sekitar Bulan September di tahun yang sama, Buya Djalaluddin akhirnya tiba di Mekkah dan mulai menjalani aktivitas menuntut ilmu kepada Syekh Abdul Thahir yang juga Imam Masjidil Haram saat itu. Ada sekitar empat tahun beliau menutut ilmu di Kota suci ini hingga tahun 1939. Adapun bidang studi yang paling Buya minati saat di Mekkah adalah studi Tafsir dan Hadist. Ada banyak orang Indonesia yang seperguruan dengan beliau selama belajar di Mekkah. Di antaranya dalah Haji Darwas Idris, (yang kelak akan menjadi tokoh Muhammadiyah Sumbar dan pernah menjadi dosen Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol). Selain itu ada nama Zaidan Abdus Shamar yang kelak menjadi sekretaris Kedutaan Indonesia di Arab Saudi. Ternyata, di sampan (perahu kecil), ia sibuk dalam mendalami ilmu-ilmu keislaman, Buya Djalaluddin juga aktif kegiatan keilmuan lainnya, yaitu mengajar di Madarasah Indonesia di Arab Saudi yang saat itu dipimpin oleh Syekh Djanan Thaib yang dikenal sebagai alumnus Indonesia pertama dari Universitas Al-Azhar. Belakangan Buya akhirnya dipercaya menjadi salah seorang pengurus di madrasah tersebut selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian, ada lagi aktivitas Buya Djalaluddin yang kali ini bersifat sosial, yaitu keterlibatan beliau dalam perkumpulan para perantau asal Indonesia yang bermukim di Mekkah atau diistilahkan dengan Komite Mukimin Indonesia di Mekkah. Bahkan Buya juga tergabung pula ke dalam organisasi yang lebih spesifik lagi yaitu Parpindo yaitu Persatuan orang-orang Indonesia dan Malaysia yang ada di Mekkah. Kembali ke Tanah Air di Masa Krisis Global Ketika akhirnya Buya Djalaluddin sampai ke kampung halaman di Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Jiwa aktivis dan tidak mau diam beliau masih terus berlangsung. Aktivitas utama yang Buya tekuni sesampai di kampung tentu saja sebagai pendidik dengan mengajar di Madrasah Islamiyah Malalak. Hingga invasi Jepang ke nusantara pada tahun 1942 yang menumbangkan kekuasaan Belanda dan membentuk pemerintahan militer. Sebagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia, masa pemerintahan militer Jepang yang merupakan salah satu pelaku utama Perang Dunia II, yang ditandai dengan situasi krisis dan aneka pembatasan termasuk pembatasan kegiatan pendidikan. Maka kegiatan pengajaran Buya pun ikut macet, hal demikian bisa dimaklumi saat itu di mana masyarakat dalam posisi berjuang bertahan hidup. Kemudian situsi berbeda terjadi pada saat Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan terjadinya usaha pendudukan kembali Belanda ke Indonesia antara tahun 1945 hingga tahun 1950. Era ini dikenal sebagai periode perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan. Ternyata pada periode penuh gejolak ini, Buya Djalaluddin yang memang masih muda itu ikut terlibat dalam berbagai perjuangan perlawanan menghadapi Belanda. Meniti Karir Formal di Lingkungan Pemerintahan Selama itu Buya memang menjalani kegiatan yang sangat padat dan berarti. Di samping bertugas sebagai Kepala Bagian Ibadah Sosial Depag, beliau juga merangkap sebagai guru pada sekolah Pendidkan Guru Agama Negeri (PGAN) Banjarmasin. Selain itu Buya ikut bertugas sebagai guru persiapan IAIN dan juga menjadi dosen pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat di Banjarmasin sampai berakhirnya penugasan beliau di kota ini pada tahun 1964. Sekembalinya Buya Djalaluddin ke Sumatera Barat pada 1964, beliau kemudian ditunjuk sebagai Kepala Bagian Kepenghuluan hingga tahun 1970. Setelah itu Buya diangkat sebagai Sekretaris Perwakilan Departemen Agama Provinsi Sumatera Barat merangkap Kepala Bagian Kepenghuluan hingga pensiun pada tahun 1973. Dari uraian barusan dapatlah dilihat betapa aktifnya Buya Djalaluddin di dunia kepegawaian di lembaga resmi pemerintah. Bergabung dengan MUI Sumbar Sebagaimana diketahui keberadaan MUI Sumatera Barat sudah terlebih dahulu lahir tepatnya pada tahun 1968 di Birugo Bukittinggi. Pada tahun ini Buya Djalaluddin masih aktif dalam lembaga pemerintahan walau tidak lepas dari urusan keagamaan-keummatan. Maka bergabungnya beliau pada tahun 1975 berlangsung di masa pensiun dari kepegawaian sehingga hal ini, membuat Buya bisa lebih fokus mencurahkan segenap tenaga dan keahlian untuk melayani umat dalam wadah MUI. Selama menjadi pengurus MUI Sumbar, Buya Djalaluddin diamanahkan sejumlah posisi, di antaranya Ketua Komisi Fatwa. Posisi ini beliau emban selama kepemimpinan HMD. Dt. Palimo Kayo yang merupakan Ketua Umum pertama sejak periode tahun 1975-1980 dan berlanjut pada masa periode berikutnya pada tahun 1980-1985. Sumber: Rahmat Ilahi (Rijoe)
|
Lainnya :