BNPT Urai Ciri Penceramah Radikal yang Disindir Jokowi, Ini Respon Tak Terduga Buya Dr. Gusrizal
Sabtu, 05 Maret 2022
MUISUMBAR.OR.ID, PADANG — Menyikapi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang mengeluarkan sejumlah ciri penceramah radikal sebagaimana sempat disinggung oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat pimpinan TNI-Polri pada Selasa (1/3) lalu. Ketum MUI Sumbar Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa angkat suara. “Bila menurut BNPT ciri penceramah radikal adalah mengkafirkan orang yang berbeda agama, BNPT berarti suatu institusi negara yang telah berperan sebagai agen pluralisme agama yang telah diharamkan oleh MUI. BNPT juga telah merusak ajaran agama khususnya ajaran Islam yang sangat mendasar yaitu “ajaran Tauhid”. Yakni Kalimat “La Ilaha Illallah” merupakan pernyataan pengakuan atas keyakinan di dalam qalbu bahwa satu-satunya Ilah yang berhak disembah adalah Allah swt”. “Konsekuensi dari keyakinan tersebut adalah kufurnya setiap keyakinan yang menentang ajaran tauhid tersebut. Penganut kekufuran itu adalah “kafir” dalam istilah Al-Quran dan Sunnah Nabi saw,” tutur Buya Dr. Gusrizal Gazahar, Sabtu, (5/3/2022). Dengan demikian, Buya Gusrizal meminta BNPT menjawab, dari mana datangnya tuduhan radikal terhadap dai yang mengatakan orang berbeda agama adalah “kafir” ??? “Kalau itu yang diinginkan oleh BNPT, berarti BNPT ingin merusak ajaran agama. Sebelumnya, Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Ahmad Nurwakhid mengatakan penceramah radikal dilihat bukan tampilannya, melainkan dari beberapa indikator dari isi materi yang disampaikan yakni mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri, yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama. Ketiga, menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah. Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan Kelima, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan. "Ada tiga strategi yang dilakukan oleh kelompok radikalisme. Pertama, mengaburkan, menghilangkan, bahkan menyesatkan sejarah bangsa. Kedua, menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketiga, mengadu domba di antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan isu SARA," urai Nurwakhid. Sumber: Rahmat Ilahi (Kang Rie)
|
Lainnya :