PKI Bukan Bagian Kayu Basilang di Tungku
Jumat, 11 September 2020
Oleh: Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa Karakteristik masyarakat Minangkabau yang terbuka dalam perbedaan pandangan, tentu bukanlah sebagai bentuk liberalisme. Minang punya petuah, "alue jo patuik dan barih jo balabeh" (alur dengan patut dan baris dengan belebas). Sehingga perbedaan pandangan tidak akan keluar dari bingkai keminangan itu sendiri. Kaedah adat yang populer, "baralieh tagak di tanah nan sabingka, bakisa duduak di lapiek nan sahalai" (beralih berdiri, tetap di tanah yang sebingkah. Bergeser duduk, tetap di tikar yang sehelai), menjadi frame bagaimana perbedaan tersebut tetap terkawal dengan nilai-nilai yang menjadi kesepakatan di Ranah Minang. Kesepakatan itu adalah: Adaik Basandi Syarak- Syarak Basandi Kitabullah-Adaik Bapaneh Syarak Balinduang-Syarak Mangato Adaik Mamakai (ABS-SBK-ABSB-SMAM). Nah, dalam alur demikianlah hendaknya kita melihat keberadaan PKI dan perjalanan sejarah komunisme di Ranah Minang. Namun bukan berarti para ulama Minangkabau tidak awas dengan perkembangan pemikiran komunisme yang akan berujung kepada konflik dengan agama khususnya Islam. Jadi, keberadaan sebagian tokoh-tokoh Minangkabau bersama PKI dan Komunisme adalah dalam rangka menggunakannya sebagai alat perjuangan selama tidak menggeser nilai prinsipil seorang Minang. Ketika nilai prinsipil itu dicampakkan dan PKI telah memposisikan diri dengan kematangan komunisme yang isinya adalah anti agama, maka masyarakat Minangkabau tidak pernah ragu menentukan sikap. Ini adalah proses akhir perjalanan yang sudah final. Maka jadilah PKI dan Komunisme sebagai organisasi dan faham yang tak punya tempat lagi di Ranah Minang dan di hati masyarakat Minangkabau. Sumber: Rahmat Ilahi (Kang Rie)
|
Lainnya :