Ketum MUI Sumbar Ingatkan Ancaman Sertifikasi Tanah Ulayat terhadap Kelestarian Harta Pusaka Tinggi
Jumat, 18 April 2025
MUISUMBAR.or.id, BUKITTINGGI – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Datuak Palimo Basa, mengingatkan masyarakat akan risiko sertifikasi tanah ulayat yang berpotensi menggerus sistem kepemilikan harta pusaka tinggi. Hal ini disampaikan dalam khutbah Jumat di Masjid Surau Buya Gusrizal, Bukittinggi, yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara hukum Islam, adat, dan kebijakan pemerintah. Buya Dr. Gusrizal menegaskan, program sertifikasi tanah ulayat—sebagai bagian dari kebijakan nasional—dapat mengancam eksistensi harta komunal adat Minangkabau yang berlandaskan prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”. Menurut Buya, sertifikasi individual berisiko mengubah status tanah ulayat menjadi aset privat yang mudah diperjualbelikan atau digadaikan ke lembaga keuangan. “Kepemilikan mutlak hanya milik Allah. Manusia adalah khalifah yang diberi amanah untuk mengelola harta sesuai syariat,” ujarnya, merujuk pada Surah Al-Hadid ayat 7. Ia menambahkan, harta pusaka tinggi bukanlah hak kepemilikan absolut, melainkan titipan turun-temurun yang wajib dijaga demi keberlangsungan generasi mendatang. MUI Sumbar, melalui serangkaian muzakarah (diskusi keagamaan), telah mengkaji dampak sertifikasi tanah ulayat. Meski program ini bertujuan memberikan kepastian hukum, Buya Gusrizal menilai pendekatan individual bertentangan dengan filosofi adat Minangkabau. “Jika tanah ulayat disertifikatkan perorangan, dalam satu generasi, pusaka kaum bisa habis terjual atau teragunkan,” tegasnya. Meski demikian, langkah MUI ini menuai respons beragam dari kalangan pemangku adat. Sebagian menganggapnya sebagai intervensi terhadap kewenangan ninik mamak. Menanggapi hal ini, Buya Gusrizal menekankan bahwa MUI tidak memiliki kepentingan politik. “Ini murni peringatan agama. Kami ingin memastikan adat tetap selaras dengan syariat, seperti tertuang dalam Sumpah Bukit Marapalam,” jelasnya, merujuk konsensus abad ke-19 antara ulama dan tokoh adat Minangkabau. Ia juga mengingatkan tradisi “malam bamuti”, di mana masyarakat dahulu kerap meminta fatwa ulama sebelum mengambil keputusan adat. “Kolaborasi ulama dan ninik mamak adalah kunci menjaga harmoni adat dan syariat,” tambahnya. Solusi Tanpa Sertifikasi Individual Buya Gusrizal juga menyoroti sistem matrilineal Minangkabau, di mana harta pusaka tinggi diwariskan melalui garis perempuan. “Sertifikasi individual berpotensi merusak struktur ini. Jika tanah beralih ke individu, hak kaum dan generasi mendatang terancam,” paparnya. Sumber: Kangrie
|
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Lainnya :